Prakarsa Seorang Yahudi Menelurkan Syiah
------------------------------------------------
Orang-orang Yahudi adalah yang pertama kali menebarkan racun di dalam agama Islam untuk memalingkan putra-putra Islam dari agama dan akidah yang lurus. Dan adalah Abdullah bin Saba’ seorang Yahudi gembong munafik yang menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keislaman. Dia geram melihat Islam tersiar dan tersebar di jazirah Arab, di Imperium Romawi, negeri-negeri Persia sampai ke Afrika dan masuk jauh di Asia, bahkan sampai berkibar di perbatasan-perbatasan Eropa.
Ibnu Saba’ ingin menghadang langkah Islam supaya tidak mendunia. Karenanya, ia merencanakan makar bersama Yahudi San’a (Yaman) untuk mengacaukan Islam dan ummatnya. Mereka menyebarkan orang-orangnya termasuk Ibnu Saba’ sendiri ke berbagai wilayah Islam, termasuk ibukota Khalifah, Madinah. Mereka mulai menyulut fitnah dengan memprovokasi orang-orang lugu dan berhati sakit untuk menentang Khalifah Utsman. Pada waktu itu juga mereka memperlihatkan rasa cinta kepada Ali bin Abi Thalib t.Mereka mengaku sebagai pendukung kelompok Ali, padahal Ali tidak ada sangkut pautnya dengan mereka.
Fitnah ini terus menggelinding. Mereka mencampur pemikiran mereka dengan akidah-akidah yang rusak. Dan mereka menyebut diri sebagai “Syiah Ali” (pendukung Ali), padahal Ali membenci mereka bahkan Ali sendiri telah menghukum mereka dengan siksaan yang pedih. Begitu pula putra-putra dari keturunan Ali membenci dan melaknat mereka. Tapi, kenyataan ini ditutup-tutupi serta kemudian diganti secara licik dan keji.
Pengakuan Tokoh-tokoh Besar Syiah
-----------------------------------------
Seorang ‘Ulama Syiah pada abad ke-3 Hijriyah, Abu Muhammad Al-Hasan bin Musa An-Nubakhti mengatakan dalam kitabnya, “Abdullah bin Saba’ adalah orang yang menampakkan cacian kepada Abu Bakar, ‘Umar dan Utsman serta para sahabat, ia berlepas diri dari mereka dan mengatakan bahwa Ali telah memerintahkannya berbuat demikian. Maka Ali menangkapnya dan menanyakan tentang ucapannya itu. Ternyata ia mengakuinya, maka Ali memerintahkan untuk membunuhnya. Orang-orang berteriak kepada Ali, “Wahai Amirul mukminin! Apakah Anda akan membunuh seorang yang mengajak untuk mencintai Anda, ahlul bait, keluarga Anda dan mengajak untuk membenci musuh-musuh Anda?” Maka Ali mengusirnya ke Madain (ibukota Iran waktu itu).
Dan sekelompok ahli ilmu dari sahabat Ali mengisahkan bahwa Ibnu Saba’ adalah seorang Yahudi lalu masuk Islam dan menyatakan setia kepada Ali. Ketika masih Yahudi ia berkata bahwa Yusa’ bin Nun adalah washi (penerima wasiat) dari Nabi Musa u—secara berlebihan. Kemudian ketika Islamnya, setelah wafatnya Rasulullah r, ia mengatakan tentang Ali sebagai penerima wasiat dari Rasulullah (sebagaimana Musa kepada Yusa’ bin Nun).
Dia adalah orang pertama yang menyebarkan faham tentang Imamah Ali, menampakkan permusuhan terhadap musuh-musuh Ali (yang tidak lain adalah para sahabat yang dicintai Ali) dan mengungkap para lawannya. Dari sanalah orang-orang di luar Syiah mengatakan bahwa akar masalah “Rafdh” (menolak selain Khalifah Ali) diambil dari Yahudi.
Ketika kabar kematian Ali sampai ke telinga Ibnu Saba’ di Madain dia berkata kepada yang membawa berita duka, “Kamu berdusta, seandainya engkau datang kepada kami dengan membawa (bukti) otaknya yang diletakkan dalam 70 kantong dan saksi sebanyak 70 orang yang adil, kami tetap meyakini bahwa dia (Ali) belum mati dan tidak terbunuh. Dia tidak mati sebelum mengisi bumi dengan keadilan.” Demikianlah ucapan orang yang dipercaya oleh semua orang Syiah dalam bukunya “Firaq Asy-Syiah” (hal. 43-44. Cet Al-Haidariyah, Najef 1379 H).
Kini setelah lebih dari seribu tahun sebagian pemimpin ulama Syiah mengingkari keberadaan sosok Ibnu Saba’ dengan tujuan supaya tidak terbongkar kebusukan mereka. Namun di sisi lain, banyak kitab-kitab Syiah yang mengukuhkan tentang keberadaan Ibnu Saba’ sebagai peletak batu pertama agama Syiah. Sebagian ulama Syiah kontemporer telah mengubah pola mereka dan mulai mengakui adanya tokoh Ibnu Saba’, setelah bukti tampak di depan mata mereka dan tidak bisa lagi mengelak. Mengelak harganya sangat mahal bagi mereka sebab konsekuensinya adalah menganggap cacat sumber-sumber agama mereka. Karena itu, Muhammad Husain Az-Zen seorang Syiah kontemporer mengatakan, “Bagaimanapun juga Ibnu Saba’ memang ada dan dia telah menampakkan sikap ghuluw (melampaui batas), sekalipun ada yang meragukannya dan menjadikannya tokoh dalam khayalan. Adapun kami sesuai dengan penelitian terakhir maka kami tidak meragukan keberadaannya dan ghuluwnya.” (Asy-Syiah wa At-Tarikh, hal. 213).
Kemiripan Dua Saudara Kembar, Syiah dan Yahudi
---------------------------------------------------------
Lahir dari Yahudi, menjadikan Syiah dan Yahudi memiliki banyak persamaan. Di antaranya:
1. Yahudi telah mengubah-ubah Taurat, begitu pula Syiah, mereka punya Al-Qur’an hasil kerajinan tangan mereka yakni “Mushaf Fathimah” yang tebalnya 3 kali Al-Qur’an kaum Muslimin. Mereka menganggap ayat Al-Qur’an yang diturunkan berjumlah 17.000 ayat, dan menuduh sahabat menghapus sepuluh ribu ayat lebih.
2. Yahudi menuduh Maryam yang suci berzina (QS. Maryam: 28), Syiah melakukan hal yang sama terhadap istri Rasulullah ‘Aisyah—radhiallahu ‘anha—sebagaimana yang diungkapkan Al-Qummi (pembesar Syiah) dalam Tafsir Al-Qummi (II/34).
3. Yahudi mengatakan, “Kami tidak akan disentuh oleh api neraka melainkan hanya beberapa hari saja.” (QS. Al-Baqarah: 80). Syiah lebih dahsyat lagi dengan mengatakan, “Api neraka telah diharamkan membakar setiap orang Syiah”, sebagaimana tercantum dalam kitab mereka yang dianggap suci Fashl Kitab (hal.157).
4. Yahudi meyakini, Allah mengetahui sesuatu setelah terjadinya sesuatu itu padahal Allah tadinya tidak tahu, begitu juga dengan Syiah. Orang-orang Syiah menyebutnya sebagai akidah al bada’.
Abu Abdillah berkata, “Seseorang belum dianggap beribadah kepada Allah sedikit pun, hingga ia mengakui adanya sifat bada’ bagi Allah.” (Ushulul Kafi fi Kitabit Tauhid: 1/331).
Bayangkan, mereka menisbahkan kebodohan kepada Allah yang telah berfirman,
“Katakanlah, “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib kecuali Allah.” (QS. An-Naml: 65).
Sementara di sisi lain, mereka berkeyakinan bahwa para imam mereka mengetahui segala ilmu pengetahuan dan tak ada sedikit pun yang samar baginya.
Al Kulaini, seorang ulama paling terpercaya di kalangan Syiah berkata di dalam bukunya, “Bab bahwa para imam mengetahui ilmu yang telah dan akan terjadi, dan tidak ada sesuatu apa pun yang tersembunyi bagi mereka.” (Al Kafi: 1/261).
5. Yahudi berkata “Tidak layak (tidak sah) kerajaan itu melainkan di tangan keluarga Daud.” Syiah berkata, ”Tidak layak Imamah itu melainkan pada Ali dan keturunannya.”
6. Yahudi menghalalkan darah setiap muslim. Demikian pula Syiah, mereka menghalalkan darah Ahlussunnah/Sunni.
7. Yahudi tidak menetapkan adanya jihad hingga Allah mengutus Dajjal. Syiah Rafidhah mengatakan,”Tidak ada jihad hingga Allah mengutus Imam Mahdi datang.”
8. Orang-orang Yahudi memberikan kepemimpinan kepada anak keturunan Nabi Harun, bukan keturunan Nabi Musa. Demikian pula orang-orang Syiah, mereka memberikan kepemimpinan kepada keturunan Al Husein, bukan Al Hasan.
Dalam riwayat orang-orang Syiah disebutkan, dari Hisyam bin Salim, dia berkata, “Aku berkata kepada Ash-Shadiq Ja’far bin Muhammad—‘alaihimas salam, manakah yang lebih utama Al Hasan atau Al Husein?” Maka dia berkata, “Al Hasan lebih utama dari Husein.” Aku berkata, “Lalu bagaimana bisa imamah setelah Al Husein ditampuk keturunan Al Husein, bukan keturunan Al Hasan?” Maka Ja’far berkata, “Sesungguhnya Allah—Tabaraka wa Ta’ala—menyukai jika sunnah Musa dan Harun berlaku kepada Al Hasan dan Al Husein—‘alaihimas salam. Apakah engkau tidak melihat bahwasanya Musa dan Harun itu keduanya adalah nabi? Demikian pula Al Hasan dan Al Husein, keduanya adalah imam. Tapi, Allah menjadikan nubuwwah bagi keturunan Harun, bukan Musa, walaupun Musa lebih afdhal dari Harun—‘alaihimas salam.
9. Syiah Imamiyah menetapkan 12 imam mereka untuk menyerupai jumlah pemimpin dari kalangan Bani Israil, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al Maidah: 12.
10. Orang-orang Yahudi membenci Jibril. Mereka mengatakan bahwa Jibril adalah musuh kita dari kalangan malaikat. Adapun Syiah berkata, Jibril telah keliru dalam menyampaikan wahyu kepada Rasulullah. Mereka juga berkata, “Sesungguhnya Jibril telah berkhianat ketika menyampaikan wahyu kepada Muhammad, padahal sepantasnya dan yang lebih berhak adalah Ali bin Abi Thalib t.”
Inilah Syiah, bagaimana bisa mereka menuduh Jibril berkhianat, padahal Allah telah menyifatinya dengan al amin (yang dapat dipercaya) dalam firman-Nya, “Yang dibawa turun oleh ar-Ruh al Amin (Jibril).” (QS. As-Syu’ara: 193).
11. Yahudi sangat keras memusuhi kaum Muslimin, firman Allah, artinya: “Pasti kamu akan dapati orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik.” (QS. Al Maidah: 82).
Demikian pula dengan orang-orang Syiah, sangat memusuhi ahlus sunnah waljamaah, bahkan menganggap mereka sebagai najis.
12. Yahudi dan Syiah, keduanya tidak bersifat adil dalam memberikan kecintaan dan kebencian. Di satu sisi, Yahudi bersifat ghuluw terhadap sebagian nabi dan orang-orang shaleh mereka. Mereka menempatkannya sebagai sembahan yang diagungkan. Seperti perkataan mereka yang dikutip dalam al Qur’an, “’Uzair anak Allah.” (Qs. At-Taubah: 30). Namun di sisi lain, mereka mencela sebagian nabi dan menuduh mereka sebagai penjahat. Demikian pula dengan Syiah, Anda melihat mereka berlebih-lebihan mengagungkan Ali t dan sebagian keturunan beliau, bahkan menempatkan mereka sebagai sembahan dan berkeyakinan bahwa Allah bersatu dalam dzat mereka. Namun di sisi lain, mereka mencela sahabat dan kaum Muslimin. Menuduh mereka munafik dan kafir.
Meski banyak memiliki persamaan, Yahudi dan Nasrani telah selangkah lebih maju dari Syiah dalam hal etika. Ketika orang-orang Yahudi ditanya, “Siapa penganut terbaik agama kalian?” Mereka menjawab, “Sahabat-sahabat Musa.” Orang-orang Nashrani pun ditanya dengan pertanyaan yang sama, jawaban mereka, “ Para penolong ‘Isa.” Dan ketika orang-orang Syiah ditanya, “Siapa pengikut paling durhaka dari agama kalian?” Mereka menjawab, “Sahabat-sahabat Muhammad.”
Bagi mereka firman Allah, artinya: “Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Kitab (Taurat)? Mereka percaya kepada Jibt dan Thagut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir, bahwa mereka itu lebih benar jalannya daripada orang-orang yang beriman. Mereka itulah orang-orang yang dilaknat Allah. Dan barangsiapa dilaknat Allah, niscaya engkau tidak akan mendapatkan penolong baginya.” (QS. An-Nisaa’: 51-52).
Al Fikrah No. 20 Tahun X/28 Jumada al Akhirah 1430 H
Sumber CoPas :
http://www.facebook.com/KabarDuniaIslam
0 komentar:
Posting Komentar
Mohon beri komentarnya berhubungan dengan artikel yang ada.
Komentar yang mengarah ke tindakan spam akan dihapus atau terjaring secara otomatis oleh spam filter