“Belum pernah selama saya ini menonton film, berapa puluh tahun lamanya, berapa ratus judul banyaknya, kalau dihitung-hitung sejak masa kanak-kanak dulu, belum pernah saya merasa dihina dan dilecehkan seperti sesudah menonton film Hanung ini. Hanung, kau keterlaluan”
1. Perempuan Berkalung Sorban
Kata-kata atas adalah curahan hati Sastrawan Taufik Ismail ketika menanggapi Film Perempuan Berkalung Sorban karya Hanung Bramantyo. Film itu mengisahkan sistem pesantren yang dirasa mengekang perempuan. Tampilan Kyai pun dibuat Hanung begitu menyeramkan, seakan kisah teladan dakwah para Ulama di Indonesia berguguran.
Wajar seorang Budayawan berkelas seperti Taufik Ismail begitu kaget. Budaya, yang menjadi bidangnya, kini jadi wasilah untuk menyudutkan umat Islam.
Sikap Taufik Ismail ini didukung oleh sineas senior lainnya, Misbach Yusa Biran. Misbach menyebut film garapan Hanung Bramantyo tersebut sebagai propaganda buruk terhadap pesantren.
”Saya tidak bisa menahan diri,” tulis Misbach. ”Inti cerita Perempuan Berkalung Sorban ini menurut saya sangat merugikan Islam dan merupakan propaganda buruk tentang pesantren.”
Misbach menuliskan dalam film ini pesantren digambarkan sebagai tempat pendidikan yang sumpek dengan pemikirannya sangat terbelakang. ”Dewasa ini pesantren kecil di pedesaan terpencilpun rasanya sudah tidak ada yang begitu buruk pemahamannya,” katanya.
Bahkan di film ini, kata Misbach, kiai lulusan Mesir begitu digambarkan seperti seorang yang dungu karena tidak membenarkan orang membaca selain Al Qur’an. ”Sehingga seolah-olah perguruan tinggi Islam di Mesir juga digambarkan sangat terbelakang.”
2. Film “?” (Tanda Tanya)
Masih belum lepas dari ingatan ketika tahun 2011 Hanung membuat film yang tidak kalah heboh. Judulnya cukup singkat: ?. Namun di dalamnya banyak pecelehan yang tidak bisa diselesaikan secara singkat.
Ada tayangan seorang muslim memerankan Yesus di Gereja. Muslimah yang disudutkan mau bekerja di tempat yang menjual makanan haram. Bahkan puncaknya Hanung menganggap sepele perkara pemurtadan. “Aku pindah agama bukan berarti aku mengkhianati Tuhan,” ungkap Rika, tokoh utama dalam Film ?.
Maka itu, mungkin saja Hanung menganggap sepele untuk urusan akidah. Bahkan secara tega, suami Zaskia Mecca ini memainkan pemeran murtad untuk tokoh sekaliber KH. Ahmad Dahlan yang kuat melawan Kristenisasi di Film Sang Pencerah.
Di awal-awal film itu, penonton sudah disengat dengan hal yang sensitif, seperti adegan penusukan terhadap seorang pendeta bernama Albertus. Tidak jelas apa motif penusukan yang dilakukan oleh seseorang yang berpenampilan preman tersebut. Meski tidak menunjuk hidung secara langsung, namun ada kesan Hanung hendak menggiring sterotype buruk, seolah yang suka melakukan tindakan anakis datang dari kelompok agama tertentu.
Adegan selanjutnya, tanpa alasan yang jelas pula, sekelompok pemuda Islam bersarung dan berpeci tiba-tiba mencerca seorang keturunan Cina dengan panggilan ”Cino” (menyebut Cina dengan logat Jawa). Dalam film ini, Hanung banyak menggunakan simbolik-simbolik sensasi yang didramatisir, yang berpangkal dari sebuah kemarahan terpendam.
Dangan dalih toleransi, Hanung juga menciptakan adegan seorang Muslimah berkerudung yang merasa nyaman bekerja di sebuah rumah makan (restoran) yang menyajikan daging babi yang diharamkan oleh Islam. Toleransi ala Hanung ingin mengesankan, bahwa muslimah yang diperankan oleh Revalina S Temat adalah muslimah yang ideal, yang bisa menghargai sebuah perbedaan. Meski tidak sampai memakannya, tidak terlihat kegalauan hati dari seorang Muslimah, seolah daging babi bukan sesuatu yang diharamkan.
Di sela adegan itu, ada seorang Muslimah yang menolak bekerja di sebuah restoran yang sama, dengan alasan prinsip agama yang dipegang. Namun, cara pandang Hanung yang keliru, ingin menunjukkan bahwa Muslimah yang menolak bekerja di restoran Cina karena menyajikan daging babi itu sabagai muslimah yang tidak toleran.
Kepribadian Hanung sendiri dinilai bermasalah. Pada saat proses pembuatan film Ayat-Ayat Cinta yang berlangsung saat bulan Ramadhan ia mengaku tidak menjalankan kewajiban puasa dan shalat. Tanpa rasa sungkan, Hanung berkata jujur saat diwawancarai Radio KBR 68 H, Rabu 27 Oktober 2010.
“Saya tidak melakukan salat apa pun. Saya tidak salat. Itu pada saat bulan Ramadhan. Saya juga tidak puasa dan tidak berdoa. Saya mencoba untuk berkesenian total dan saya percaya dengan kemampuan otak saya,” katanya.
3. Cinta Tapi Beda
Di akhir tahun 2012, ‘Film Cinta Tapi Beda’ mengawali petualangan Hanung dalam dunia perfilman. Film ini mengisahkan dua muda-mudi yang berbeda keyakinan. Untuk film ini, Hanung juga menggandeng sutradara Hestu Saputra dan musisi Eross Candra, yang juga pelaku cinta beda agama.
Film ini tentu menggiring pembaca untuk membenarkan pernikahan beda agama. Padahal ini adalah perkara sensitif dalam Islam karena sudah menyangkut akidah.
Hanung pun kemudian juga harus menghadapi protes dari umat Islam Minangkabau. Keluarga Mahasiswa Minang Jaya (KMM Jaya) mendesak Hanung Bramantyo meminta maaf kepada masyarakat Minangkabau sekaligus menghentikan penayangan film tersebut di bisokop-bioskop.
“Kami pengurus pengurus pusat Keluarga Mahasiswa Minangkabau Jaya (KMM JAYA) sangat terusik (terhina) dengan film ini,” kata pengurus pusat KMM Jaya Muhammad Rozi.
Ketua Umum Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Kota Payakumbuh Indra Zahur Datuak Rajo Simarajo dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Payakumbuh Haji Mismardi, juga terang-terangan, meminta film ”Cinta Tapi Beda”, dari peredaran. ”Jangan sampai ada yang beredar atau diputar lagi, apalagi di Payakumbuh,” kata mereka.
Menurut Indra Zahur dan Mismardi, film Cinta Tapi Beda, sangat tidak sesuai dengan ajaran adat Minang. ”Sejak leluhur kita mengajarkan nilai-nilai kehidupan, beragama, berkorong berkampung, nilai-nilai Islam tetap melekat dalam ajaran adat Minang. Artinya, orang Minang itu adalah kaum muslim dan muslimah, pemeluk Islam.
”Kalau ia tak beragama Islam, itu bukan orang Minang. Kami takut, film ini akan merusak sendi-sendi adat dan budaya masyarakat Minang dalam berkehidupan sehari-hari yang sangat menjaga hubungan antar sesama. Kami mencurigai, ada keinginan terselubung dari orang-orang yang ikut mendukung film tersebut ditayangkan. Misalnya, ingin menghancurkan adat dan budaya masyarakat Minang,” kata Indra Zahur dan Buya Mismardi.
0 komentar:
Posting Komentar
Mohon beri komentarnya berhubungan dengan artikel yang ada.
Komentar yang mengarah ke tindakan spam akan dihapus atau terjaring secara otomatis oleh spam filter